Seperti halnya ikan nila (Tilapia nilotica) dan mujair (Tilapia musambica), gurami merupakan ikan herbifora yang makan plankton dan daun-daunan. Salah satu daun kesukaan gurami adalah daun keladi (Xanthosoma sagittifolium) dan talas (Colocasia esculenta). Terutama talas gatal yang sering juga disebut sente (sénthé, Alocasia macrorhiza). Di antara ikan air tawar yang disajikan di restoran, gurami memegang rekor harga paling tinggi, yakni Rp 20.000,- per kg. di tingkat peternak. Ikan mas (Cyprinus carpio), lele (Clarius batracus), nila/mujair) dan "patin" (jambal siam, Pangasius sutchi) harganya di bawah Rp 10.000,- per kg. di tingkat konsumen. Memang harga gurami masih kalah dibanding gabus (Ophiocephalus striatus) Rp 25.000,- dan betutu (ikan bodoh/ikan malas, Barbichthys laeris) yang sampai diatas Rp 50.000,-per kg. Tetapi gabus tidak biasa disajikan sebagai ikan konsumsi di restoran, melainkan sebagai ikan asin. Sementara betutu hanya bisa dijumpai di restoran-restoran papan atas dengan volume yang sangat terbatas.
Penyebab utama gurami menjadi ikan mahal, adalah permintaan yang selalu lebih tinggi dari pasokan. Orang senang dengan gurami karena tekstur dan rasa dagingnya yang lembut dan lezat. Pada jaringan dagingnya juga tidak terdapat duri-duri halus seperti halnya ikan mas. Selain itu, rongga perut ikan ini sangat kecil dibanding ikan air tawar lain. Kelemahan gurami adalah, pertumbuhannya yang lamban. Benih gurami ukuran burayak, kebul sampai putihan, dulunya dibesarkan oleh para peternak ikan tradisional dengan pakan plankton dan larva serangga. Dengan cara ini pembesaran burayak gurami sampai menjadi putihan untuk ditebar di kolam pembesaran, akan makan waktu hampir satu tahun. Kemudian dengan pakan daun talas, pembesaran putihan ukuran 5 cm. sampai menjadi ikan konsumsi bobot 0,5 kg, diperlukan waktu lebih dari 1 tahun. Hingga untuk menghasilkan gurami konsumsi bobot 0,5 kg, diperlukan waktu sekitar 2 tahun sejak pembenihan.
Selain itu gurami juga tidak bisa dipelihara dengan padat penebaran tinggi. Ikan mas, nila, lele (dumbo) dan patin, selalu dipelihara dengan tingkat kepadatan tinggi. Untuk mengatasi kendala ketersediaan oksigen dan tercemarnya air oleh kotoran serta sisa pakan, pemeliharan ikan-ikan konsumsi tersebut dilakukan dalam kolam air deras atau dalam karamba. Baik kolam air deras maupun karamba, memungkinkan ketersediaan oksigen secara penuh. Hingga padat penebaran bisa ditingkatkan sampai beberapakali lipat. Pada kolam air deras, kotoran dan sisa pakan akan langsung hanyut terbawa aliran air. Sementara pada karamba, sisa pakan dan kotoran akan langsung jatuh ke dasar parairan. Dengan pola pemeliharaan seperti ini, ikan mas, nila, lele dan patin bisa dipelihara secara massal dalam jangka waktu singkat. Pola pemeliharaan empat ikan konsumsi ini, tidak bisa diterapkan untuk gurami. Sebab gurami menghendaki kolam yang tenang, meskipun airnya harus terus mengalir. Inilah antara lain yang menjadi penyebab mahalnya ikan gurami jika dibanding dengan lele, mas, nila dan patin.
Dengan adanya kemajuan teknologi pakan, maka pembesaran burayak (anak ikan di bawah 1 cm) sampai menjadi kebul (3 cm.) dan putihan (5 cm.) bisa dipersingkat hanya sekitar 3 bulan. Kemudian di kolam pembesaran, gurami konsumsi bobot 0,5 kg. bisa diperoleh dalam jangka waktu 5 bulan. Namun harga gurami masih tetap lebih duakali lipat harga ikan mas. Sebab untuk memperoleh bobot yang sama, pembesaran ikan mas hanya memerlukan waktu paling lama 3 bulan. Selain itu produksi benih ikan mas juga bisa dilakukan secara massal, dengan biaya yang lebih murah. Meskipun banyak pengusaha dan peternak yang terjun menekuni budidaya gurami, kendala jangka waktu pembesaran inilah yang menyebabkan populasi gurami tidak pernah bisa semassal ikan mas. Hingga laju peningkatan volume permintaan, tidak pernah bisa diimbangi oleh laju peningkatan volume produksi. Itulah penyebab utama harga gurami pun tetap tinggi. Kondisi serupa, sebenarnya pernah dialami oleh lele. Sampai dengan awal tahun 1980an, lele merupakan ikan mahal. Sebab budidaya lele dilakukan hanya dengan mengandalkan benih tangkapan dari alam. Pakannya pun berupa ikan-ikan kecil. Biasanya anak ikan mujair. Namun dengan adanya intruduksi lele dumbo pada tahun 1986, agroindustri lele tumbuh dengan sangat pesat. Karena budidaya lele dumbo relatif lebih mudah dan murah dibanding ikan mas, maka tidak lama kemudian harga lele pun berbalik menjadi lebih murah dari ikan mas.
Konsumen gurami memang agak beda dengan ikan mas, lele, nila dan patin. Empat ikan konsumsi air tawar ini mudah dijumpai di pasar becek sampai warung di dalam gang dan tukang sayur keliling. Sementara gurami hanya bisa diperoleh di pasar swalayan tertentu yang menampungnya pada akuarium besar dalam keadaan hidup. Sebenarnya, penjualan ikan dalam keadaan hidup, sudah menjalar sampai ke pasar becek. Namun perlakuan ini baru diterapkan pada ikan mas dan lele. Nila dan patin masih dipasarkan dalam kondisi mati. Sementara gurami, baik hidup maupun mati, tidak pernah bisa dijumpai di pasar becek. Konsumen gurami paling banyak adalah restoran dan hotel bintang. Di sini gurami mendapat saingan utama ikan kakap tangkapan dari laut. Namun menu gurami goreng tidak mungkin tergantikan oleh kakap goreng. Sementara gurami asam manis masih dimungkinkan untuk tersaingi kakap asam manis. Konsumen gurami yang sangat spesifik ini (pengunjung hotel dan restoran, bukan rumah-tangga), antara lain juga disebabkan oleh produksi yang juga spesifik dan tidak mungkin dimassalkan serta dipacu, seperti halnya ikan mas dan lele.
Harga benih gurami berfluktuasi tergantung tinggi rendahnya permintaan dari para peternak. Benih burayak bisa berfluktuasi dari Rp 50,- sd. Rp 125,- per ekor. Benih kebul antara Rp 300,- sd. Rp 500,- per ekor. Sementara putihan dari Rp 600,- sd. Rp 800,- per ekor. Fluktuasi permintaan benih dari para peternak, bukan disebabkan oleh fluktuasi permintaan konsumen. Peternak akan menghentikan kegiatan pembesaran gurami, karena adanya gangguan cuaca seperti kekeringan dan banjir. Pada kondisi seperti inilah harga gurami konsumsi bobot di atas 0,5 kg. akan melambung sampai di atas Rp 25.000,- per kg. Sementara harga benih burayak, kebul maupun putihan akan jatuh karena tidak terpasarkan. Sebaliknya, pada saat kondisi cuaca bagus, peternak akan melakukan investasi besar-besaran untuk membesarkan gurami. Pada saat itulah permintaan benih meningkat hingga harga juga terkatrol naik. Sekitar enam bulan kemudian, ketika gurami konsumsi mulai dipanen, harga akan turun ke tingkat Rp 20.000,- per kg. Namun jarang sekali harga gurami jatuh di bawah tingkat Rp 20.000,- per kg.
Percepatan pertumbuhan gurami karena diberi pakan pelet, juga berdampak ke kualitas dagingnya. Gurami yang 100% diberi pakan pelet, dengan padat penebaran tinggi, akan menghasilkan daging yang lembek karena kadar airnya tinggi. Daging gurami demikian, jika digoreng akan susut banyak. Irisan melintang di tubuhnya akan merenggang setelah digoreng, hingga tampak tulang-tulangnya. Beda dengan gurami yang diberi pakan daun sente. Hal serupa juga terjadi pada ayam dan sapi potong. Kualitas daging ayam kampung yang dibesarkan secara alami selama 6 bulan untuk mencapai bobot 1 kg, tentu berbeda dengan daging ayam broiler dengan bobot sama yang cukup dibesarkan dalam jangka waktu 1 bulan. Peningkatan bobot hidup sapi potong unggul (impor) yang di atas 1 kg. per hari, akan mengakibatkan kualitas dagingnya tidak sepadat daging sapi lokal yang peningkatan bobot hidupnya hanya 0,5 kg. per hari. Hingga restoran padang, hanya akan menggunakan daging sapi lokal untuk rendang dan dendengnya.
Itulah sebabnya pola pembesaran gurami yang dilakukan peternak, menggunakan pola semi intensif. Pembesaran burayak menjadi kebul dan putihan, dilakukan 100% intensif. Namun dari putihan menjadi gurami konsumsi, peternak memeliharanya dalam kolam biasa dengan pakan kombinasi antara pelet dan daun sente. Pola pemeliharaan demikian, mampu mempercepat pertumbuhan gurami dari 1 tahun (dari putihan ke bobot 0,5 kg), hingga menjadi 6 bulan. Sebenarnya, dengan pemeliharaan 100% intensif, waktu panen bisa dipersingkat lagi menjadi hanya 4 bulan. Namun mutu dagingnya menjadi sangat menurun. Dengan tetap diberi pakan daun sente, pertumbuhan gurami memang masih lambat. Tetapi penurunan kualitas dagingnya tidak terlalu drastis. Gurami semi intensif inilah yang selama ini telah agak memassalkan pangsa pasarnya. Kalau dulu ikan elite ini hanya bisa dikonsumsi kalangan yang juga sangat elite, sekarang kalangan menengah pun bisa pula ikut menikmatinya. Meskipun tidak sesering ikan mas, nila, lele dan patin yang telah benar-benar menjadi menu rakyat.
No comments:
Post a Comment