61. لَيْسَ الجَمَالُ بِأَثْوَابٍ تُزَيِّنُنَا إِنَّ الجَمَالَ جَمَالُ العِلْمِ وَالأَدَبِ
Bukanlah kecantikan itu dengan pakaian yang menghias kita, namun sesungguhnya kecantikan itu ialah kecantikan ilmu dan budi pekerti.
Kata pepatah Inggris: “Don’t judge a book by its cover”, maksudnya janganlah kita menilai sebuah buku hanya dengan melihat covernya saja.
Demikian pula dengan hubungan kita sesama manusia, kita sering kali menilai orang hanya dari penampilan luarnya saja. Kita lupa bahwa keindahan yang ada di dalam diri seseorang yaitu keindahan yang dihasilkan oleh adanya ilmu dan perangai yang baik itu jauh lebih berharga dari keindahan lahiriah yang akan pudar seiring berjalannya waktu.
Adapun sisi lain yang dapat kita tarik dari Mahfuzhat ini adalah bahwasanya ilmu juga harusnya disertai dengan budi pekerti yang baik.
Artinya ilmu yang banyak namun tak diiringi dengan adanya budi pekerti yang baik itu laksana pohon tak berbuah.
62. لَا تَكُنْ رَطْبًا فَتُعْصَرَ وَلَا يَابِسًا فَتُكَسَّرَ
Janganlah engkau bersikap lemah sehingga engkau akan diperas, dan janganlah pula bersikap keras, sehingga engkau akan dipatahkan.
Maksud dari Mahfuzhat ini adalah kita harus seimbang dalam segala urusan, kita harus menghindari Ifrath (berlebihan) dan Tafrith (terlalu kurang).
Dalam pergaulan sehari-hari kita sering melihat ada orang yang terlalu kasar sehingga dimusuhi banyak orang, namun ada pula orang yang terlalu “lembek” sehingga malah menjadi objek Bullying ataupun dipermainkan oleh orang-orang di sekitarnya. Karena itu dalam Mahfuzhat lain juga dikatakan “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya”.
63. مَنْ أَعَانَكَ عَلَى الشَّرِّ ظَلَمَكَ
Barang siapa menolongmu dalam kejahatan maka ia telah menzalimimu.
Maksud dari Mahfuzhat ini adalah bahwa sesungguhnya orang yang membantu kita melakukan sebuah keburukan itu pada hakikatnya sedang menjerumuskan kita dalam sebuah dosa, oleh sebab itu ia pada hakikatnya sedang menzalimi kita.
Demikian pula sebaliknya, ketika kita membantu seseorang melakukan sebuah kejahatan, maka kita pada saat ini sedang menzaliminya karena kita menjerumuskannya dalam sebuah dosa.
Dalam Islam, seseorang hendaknya mencegah saudaranya dari berbuat kejahatan, karena sebenarnya itulah bentuk kasih sayang kita sebagai sesama muslim.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu baik ketika ia sedang berbuat zalim maupun ketika ia sedang dizalimi”.
Kemudian salah seorang sahabat bertanya:
“Ya Rasulallah, aku paham bahwa orang yang dizalimi harus aku tolong, namun bagaimana dengan menolong orang yang berbuat zalim?”
Rasulullah SAW pun menjawab:
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya itulah bentuk pertolongan baginya”. (Muttafaq ‘Alaih)
64. أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
Saudaraku! Kamu tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan aku beritahukan perinciannya dengan jelas :
1). Kecerdasan
2). Ketamakan (terhadap ilmu)
3). Kesungguhan
4). Harta benda (bekal)
5). Mempergauli guru (bermuamalah dengan baik)
6). Waktu yang panjang
65. العَمَلُ يَجْعَلُ الصَّعْبَ سَهْلًا
Bekerja itu membuat yang sukar menjadi mudah.
Maksudnya adalah sering kali sesuatu itu terlihat sulit sebelum ia dikerjakan, padahal ketika sudah dilakukan ia akan menjadi mudah.
Misalnya ada seseorang yang ingin membangun sebuah usaha, dalam pikirannya usaha yang akan ia bangun tersebut adalah sebuah usaha yang sangat sulit dijalankan, butuh banyak biaya, persaingan ketat, dan lain sebagainya.
Namun ternyata setelah dijalani, ia pun merasa bahwa ternyata usaha tersebut tidaklah sesulit yang ia bayangkan dulu.
Di sini lah letak kuncinya, bahwa di dalam sebuah pergerakan itu ada berkah:
تَحَرَّكْ فَإِنَّ فِي الْحَرَكَةِ بَرَكَةً
“Bergeraklah, karena sesungguhnya di dalam sebuah pergerakan itu ada keberkahan”, demikian wejangan yang selalu diulang oleh Kyai Syukri di Gontor dulu.
66. مَنْ تَأَنَّى نَالَ مَا تَمَنَّى
Barang siapa berhati-hati, niscaya mendapatkan apa-apa yang ia cita-citakan.
Kita hendaknya selalu bersikap hati-hati dalam segala urusan, karena sering sekali terjadi seseorang mendapatkan celaka karena kurangnya hati-hati.
67. اُطْلُبِ العِلْمَ وَلَوْ بِالصَّيْنِ
Carilah/tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina.
Penyebutan negeri China di sini tidaklah bermaksud untuk menunjukkan kemuliaan bangsa ataupun negeri China dibandingkan bangsa-bangsa lainnya, adapun maksud dari disebutnya Negeri China di sini adalah karena ia (dulu) dikenal sebagai negeri yang sangat jauh dari jazirah Arab. Maka dipakailah ia untuk menunjukkan posisi yang sangat jauh.
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa menuntut ilmu itu adalah sebuah kewajiban bagi kita, karena itu kita dianjurkan untuk berkelana mencari ilmu walaupun sampai ke tempat yang jauh.
Dulu, Imam Bukhari bahkan pernah melakukan perjalanan dari kota Bukhara di Asia tengah hingga ke Baghdad yang berjarak sekitar 2000 km, hanya untuk mengecek kesahihan sebuah hadis.
Demikianlah semangat para ulama terdahulu dalam mencari ilmu yang hendaknya menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus bersemangat dalam menuntut ilmu.
68. النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
Kebersihan itu sebagian dari iman.
Kalimat ini bukanlah sebuah hadis, namun maknanya mirip dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
الطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ
“Kesucian/bersuci merupakan setengah/sebagian dari Iman” (HR. Muslim: 328).
Namun perlu dipahami bahwa ada perbedaan makna antara an-Nazhaafah (Kebersihan) dengan at-Thuhuur (Kesucian).
Thuhuur itu mencakup kebersihan secara Hissi (Kebersihan yang dapat diperhatikan oleh indra), dan juga kebersihan secara Maknawi (kebersihan jiwa). Sedangkan Nazhaafah sendiri hanyalah mencakup kebersihan secara Hissi saja (kebersihan lahiriyah).
Karena itulah, semua hal yang suci itu pasti bersih, namun tidak semua hal yang bersih itu suci.
69. إِذَا كَبُرَ المَطْلُوْبُ قَلَّ المُسَاعِدُ
Kalau besar permintaannya maka sedikitlah penolongnya.
Kalimat ini bisa memiliki 2 arti:
Yang pertama: Bahwa sebuah permintaan tolong yang membutuhkan usaha yang besar untuk menunaikannya pasti hanya akan mendapatkan segelintir orang yang bersedia untuk membantu. Karena memang tidak banyak orang yang bisa membantu. Ini adalah normal dan tidak ada yang salah dengan hal ini.
Kedua: adapun arti lain dari kalimat ini adalah bahwa orang yang terlalu sering meminta bantuan orang lain (menjadikan itu sebagai kebiasaan), lambat laun akan kesulitan menemukan orang yang bersedia menolongnya.
Misalnya ada seseorang yang sangat manja sehingga apa pun keperluannya selalu minta tolong kepada orang lain (sebenarnya ia mampu untuk melakukannya sendiri), maka orang seperti ini lambat laun tak akan dihiraukan oleh masyarakat, sehingga tatkala ia benar-benar membutuhkan pertolongan, orang-orang akan enggan untuk menolongnya lantaran sikapnya yang terlalu gampang untuk meminta tolong.
Terkait hal ini, Rasulullah SAW adalah contoh teladan, beliau selalu mengerjakan sendiri segala keperluan beliau selama beliau mampu untuk mengerjakannya sendiri.
70. لاَ خَيْرَ فيِ لَذَّةٍ تَعْقِبُ نَدَمًا
Tidak ada baiknya sesuatu keenakan yang diiringi (oleh) penyesalan.
Maksudnya adalah ketika kita hendak melakukan sesuatu, kita hendaknya selalu memikirkan konsekuensi ataupun akibat dari perbuatan tersebut. Apakah ia akan menjadi kebaikan ataukah keburukan bagi kita di kemudian hari.
Jangan sampai sesuatu yang akan kita lakukan tersebut hanya nampak indah di awal, namun membawa penyesalan kepada kita di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment